Sebutan sebagai ‘kampung janda’ melekat pada kampung di Desa Ciburayut, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tetapi janda yang satu ini beda dengan janda yang diceraikan suami.
Mayoritas beberapa perempuan di Kampung Panyarang Kidul, Panyarang Tengah, serta Panyarang Lebak hidup sendiri. Banyak suami mereka wafat dunia lantaran jadi korban akibat tertimbun longsor galian tras atau bahan baku batako. Banyak penduduk benar-benar menumpukan hidup mereka sebagai pembuat batako.
Sejak mulai beroperasinya galian yang dikelola secara tradisional th. 1996, telah kian lebih 100 pria tewas dikarenakan tertimbun longsor.
Khodijah, harus merelakan ditinggal pergi selamanya oleh sang suami. Sejak mulai kepergian suaminya 3 tahun silam, ibu berusia 35 tahun ini harus berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kepentingan hidup sehari-hari dan ongkos sekolah ketiga anaknya yang masih tetap duduk di bangku sekolah.
“Kalau enggak kerja, anak saya ingin makan apa? ” kata Khodijah yang mengakui bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Suami Yati, juga tewas 2 bln. selanjutnya dikarenakan tertimpa material longsor. Waktu itu, suaminya tengah memahat bebatuan yang mengandung bahan baku batako di ketinggian kurang lebih 40 meter. Tiba-tiba dari atas bukit alami longsor sampai menyeret suaminya ke basic tebing.
“Saya tidak jelas apa yang perlu dijalankan. Saya mesti mempertahankan hidup anak-anak, ” kata Yati yang mengandalkan duit hasil pemberian dari yang memiliki galian.
Cerita 2 wanita ini yaitu sebagian kecil dari derita wanita yang lain yang hidup serba pas-pasan di Kampung Panyarang, Desa Ciburayut. Mereka ikhlas merampungkan semua keperluan rumah tangga sendiri.
Memanglah masihlah ada peran mertua yang dengan setia menolong mereka. Tetapi, banyak orangtua serta mertua sudah pasti tidak dapat diandalkan untuk menuntaskan seluruh keperluan harian.
“Harus dikerjakan sendiri, kang. Biarin jualan makanan keliling kampung, ” kata Odah.
Wanita dengan 3 anak ini sadar dengan konsekuensi menikahi idaman hatinya 5 th. lantas. Sang suami jauh-jauh hari sudah mengingatkan dampak bila menikah dengannya. Bahkan buah cintanya juga didapat saat sang suami bekerja di penambangan tradisional yang masuk dalam golongan galian C itu.
Dari puluhan pasangan di kampung ini, rata-rata memanglah pekerja keras serta berat. Anak muda disana terpaksa sekali bekerja di galian C punya warga setempat karena lantaran aspek pendidikan juga minimnya lapangan pekerjaan.
“Memang resikonya nyawa, namun pengin gimana lagi, ketimbang nganggur, ” tutur Muhidin warga setempat.
Muhidin serta warga lainnya lebih pilih bekerja di galian dibandingkan dengan mesti jadi petani. Bila bercocok tanam, kata dia, modal cukup besar. Sesaat keuntungannya begitu kecil lantaran yang memastikan harga di tingkat petani yaitu tengkulak.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar